Oleh: Dwi Dewisri Kinasih, S.E., M.Sc.
Tahun 2020 merupakan tahun yang penuh gejolak tidak hanya di Indonesia, namun juga untuk negara-negara di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan adanya pandemi virus corona yang menyebar ke seluruh belahan dunia. Pandemi ini melumpuhkan hampir semua sektor industri. Bahkan beberapa negara mengalami resesi karena dampak dari virus covid-19 ini. Virus ini tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan, namun juga berdampak pada bidang sosial dan ekonomi masyarakat. Dari segi ekonomi, khususnya perusahaan juga tidak terlepas dari dampak pandemi ini.
Adanya kebijakan pemerintah mengenai pembatasan sosial berskala besar yang membatasi ruang gerak masyarakat, sehingga membuat perusahaan mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan operasinya. Kegiatan operasi tidak bisa dilakukan seperti biasa karena adanya kebijakan-kebijakan untuk menekan penyebaran covid-19 ini. Hal ini dapat menghambat perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dan akan berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya. Perusahaan yang menggunakan dana dengan menerbitkan obligasi memiliki kewajiban untuk membayar bunga dan pokok pinjamannya kepada pemegang obligasi. Perusahaan yang menerbitkan obligasi mendapatkan peringkat obligasi sebagai ukuran tingkat keamanan obligasi tersebut. Perusahaan yang memiliki peringkat obligasi yang tinggi memiliki risiko gagal bayar yang rendah dan bunga yang diberikan juga rendah. Sebaliknya, perusahaan yang memiliki peringkat obligasi yang rendah memiliki risiko gagal bayar yang tinggi dan memberikan bunga yang tinggi. Hal ini dilakukan agar menarik minat investor melakukan investasi pada perusahaan tersebut dengan menawarkan tingkat bunga yang tinggi. Semakin tinggi risiko maka akan semakin tinggi tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor dan sebaliknya. Risiko yang melekat dari penerbitan obligasi ini adalah risiko gagal bayar (default). Default adalah salah satu peristiwa paling mengganggu dalam kehidupan perusahaan dan hal ini terjadi ketika arus kas perusahaan tidak cukup untuk membayar bunga dan pembayaran pokok hutangnya. Risiko gagal bayar meningkat ketika tingkat aliran kas rata-rata perusahaan mengalami penurunan, atau volatilitas arus kas perusahaan meningkat (Brogaard et al., 2017).
Berdasarkan hasil pemeringkatan obligasi yang dilakukan oleh PT Pefindo selama tahun 2020, tercatat terdapat beberapa perusahaan yang mengalami penurunan peringkat obligasi menjadi CCC atau bahkan menjadi D. Salah satunya yaitu PT Tiphone Mobile Indonesia, pada bulan Januari 2020 sampai dengan bulan Mei 2020 tercatat memiliki peringkat obligasi BBB+ dengan outlook stabil. Namun pada bulan Juni 2020, PT Tiphone Mobile Indonesia mengalami penurunan peringkat obligasi menjadi CCC dan bahkan menjadi D. Peringkat ini stabil sampai pada bulan November 2020. Peringkat D ini menunjukkan bahwa perusahaan gagal untuk melunasi kewajibannya yang sudah jatuh tempo. Hal ini dapat disebabkan karena pendapatan perusahaan mengalami penurunan sehingga menyebabkan perusahaan tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya. Di tengah situasi pandemi covid 19 ini, perusahaan dituntut agar dapat menyesuaikan dengan keadaan, untuk dapat menerapkan strategi-strategi yang dapat menjaga keberlangsungan hidup perusahaannya dan melihat peluang yang ada untuk bertahan.
Referensi:
Brogaard, Jonathan., Dan Li, and Ying Xia. 2017. “Stock Liquidity and Default Risk”. Journal of Financial Management.
www.pefindo.com