Oleh Dwi Widiarsih, S.E., M.Sc
Resesi diartikan sebagai kondisi perlambatan kegiatan ekonomi dalam jangka waktu lama dan pertumbuhan ekonomi mengalami nilai negatif selama dua kartal berturut-turut. Kondisi ini dapat digambarkan melalui kondisi perekonomian Inonesia pada masa pandemi Covid 19. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun berada pada kisaran angka 5 persen, tidak menunjukkan kondisi yang membaik. Sepanjang bebrapa tahun masa kuartalan, pertumbuhan ekonomi berada di bawah angka rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi tahun sebelumnya.
Penyusunan kerangka pengertian shock ekonomi yang khusus disebabkan oleh wabah covid 19 adalah; Pertama, shock ekonomi terjadi karena wabah covid telah menciptakan pengangguran sementara, karena pekerja tidak dibayar apabila mereka telah terjangkiti virus ini (dikarantina dan “dirumahkan”). Akibatnya, tingkat pengeluaran akan menurun dan tentu saja inilah pemicu terjadinya guncangan ekonomi. Kedua, melambatnya kegiatan perekonomian yang diakibatkan oleh kebijakan penutupan pabrik dan kantor, larangan perjalanan, dan sejenisnya. Ke tiga,efek kejutan karena adanya perilaku seluruh pelaku ekonomi dalam menyusun ekspektasi tentang dampak yang mungkin ditimbulkan oleh wabah covid 19. Perilaku ini menyebabkan pelaku ekonomi tidak bergerak sebagaimana mestinya sehingga sebagian besar sektor ekonomi terkena dampak lesunya output barang dan jasa yang seharusnya mampu diproduksi dan dikonsumsi. Hal ini tergambar dari turunnya nilai Indeks Manajer Pembelian (PMI) yaitu indikator yang diterbitkan oleh sebuah institusi untuk mengawasi perkembangan sektor-sektor usaha tertentu
Perlambatan kegiatan ekonomi saat ini telah menujukkan efek ke arah positif walaupun kebijakan yang telah ditempuh pemerintah dinilai kurang tepat yaitu dengan menjalankan kebijakan fiskal yang cukup agresif, yakni dengan menargetkan defisit APBN tahun berjalan melebar di atas 3% persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kebijakan ini sebenarnya juga ditempuh oleh berbagai Negara sebagai respon untuk meghadapi dampak sumber resesi di seluruh dunia yakni COVID-19.
Ketepatan menjalankan kebijakan ini haruslah didukung oleh berbagai policy lainnya sehingga dapat membawa kita menuju arah perekonomian makin kuat. Pembuat kebijakan haruslah mempertimbangkan langkah yang paling cepat dan tepat agar krisis yang dapat ditimbulkan oleh wabah covid 19 ini dapat segera pulih, tanpa membiarkan dampak buruk lesunya nya kegiatan perekonmian yang lebih lama. Kejutan alokasi defisit biaya atau anggaran (terutama untuk biaya medis) bukanlah point penting, namun bagaimana agar sumber daya manusia Indonesia dapat bertahan bahkkan dapat pulih dari dampak wabah ini.
Gangguan aliran kegiatan ekonomi di seluruh lini telah menyebabkan perlambatan di mana-mana. Rumah tangga yang tidak dibayar mungkin mengalami kesulitan keuangan atau bahkan kebangkrutan terutama apabila jangkitan covid 19 menyebabkan tagihan medis menjadi sumber utama kebangkrutan. Gangguan yang paling jelas dirasakan olah masyarakat pada umumnya adalah ketika pekerja kehilangan pekerjaan mereka, tidak memiliki asuransi pengangguran atau tunjangan pendapatan lainnya menyebabkan masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran untuk barang-barang yang kurang penting dan lebih bisa ditunda. Gangguan sirkulasi inilah yang menyebabkan total pengeluaran untuk barang berkurang.
Guncangan permintaan domestik dapat juga menjadi sumber gangguan aliran kegiatan ekonomi, yang berpengaruh pada kegiatan ekspor- impor antar negara. Penurunan permintaan dan guncangan pasokan langsung dapat menyebabkan gangguan pada rantai pasokan internasional dan domestik. Keduanya menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam output terutama di sektor manufaktur.
Dari sektor bisnis diketahui banyak terjadi kebangkrutan. Banyaknya permasalahan beban hutang menyebabkan dunia bisnis rentan terhadap pengurangan arus kas. Gangguan ini menciptakan gangguan lebih lanjut dalam aliran uang. Kreditor tidak dibayar, dan para pekerja seringkali tidak dibayar penuh, sehingga bagaimanapun juga terjadilah pengangguran. Perusahaan yang mengalami kebangkrutan akan memicu kebangkrutan perusahaan lain (karena adanya interaksi sebagai merupakan pemasok atau pembeli dalam dunia bisnis).
Kembali pada pembahasan respon menghadapi resesi ekonomi akibat dampak covid 19 khusus untuk Indonesia. Memang tepat jika dikatakan bahwa target perekonomian dengan meningkatkan output dapat ditunda, lebih baik kebijakan alokasi social safty net lebih ditingkatkan untuk menyikapi dampak negatif covid 19 ini. Lantas apakah kebijakan alokasi social safty net dengan memberikan subsidi dapat dinilai sebagai langkah tepat untuk mendukung percepatan upaya menangani dampak covid 19 ini ( dengan tujuan agar kemampuan konsumsi masyarakat dapat ditingkatkan)?. Jawabannya adalah, tergantung pada kesiapan seluruh sistem dan lembaga dalam mensupportnya. Saat ini, kondisi Indonesia dengan menjalankan Kebijkan cash transfer, berupa bantuan langsung kepada masyarakat dapat mengalami miss target karena kerjsama birokrasi administrasi yang dinilai masih kurang baik. Kualitas data base yang dimiliki pemerintah juga dinilai tidak baik.
Jika memungkinkan ada baiknya pemerintah mempertimbangkan subsidi terhadap keseimbangan pasar dari sisi supply, dimana kebijkaan ini dapat menekan biaya produksi produsen, harga produk dapat ditekan sehingga daya beli konsumen (sisi demand) dapat ditingkatkan. Artinya subsidi harus diberikan kepada pelaku produsen. Tujuan utamanya bukanlah untuk meningkatkan output namun bagaimana agar daya beli masyarakat dapat ditingkatkan karena ketrsediaan pasokan barang yang relatif murah.
Dari sisi moneter: kinerja Bank dan perusahaan-perusahaan haruslah dijaga tetap baik, sehingga diharapkan dapat menambah tingkat konsumsi, ekspor produksi bisnis dan menghindari terjadinya krisis finansial. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan insentif moneter yaitu dengan kkebijakan Quantitative Easing yaitu kebijakan pelonggaran likuiditas di mana bank sentral membeli surat berharga jangka panjang dari pasar terbuka untuk meningkatkan jumlah uang beredar, turunnya tingkat suku bunga sehingga dapat mendorong tingkat pinjaman dan investasi.
Dari sisi fiskal, defisit anggaran memang telah melebihi batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan namun semakin banyaknya kebutuhan belanja negara untuk memberikan insentif kepada perekonomian merupakan kebijakan yang dinilai lebih penting pada saat ini. Social safty net seperti pemberian BLT dinilai tepat. Program bantuan perlindungan social ini hanya dapat dilakukan jika di support oleh tersedianya validitas data hingga ke level mikro pemerintah (level Kecamatan) dan perlunya koordinasi admisnistrasi yang baik sehinggan program ini dapat dijalankan tepat sasaran.
Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diberikan kepada pelaku usaha korporasi padat karya dan dukungan insentif listrik untuk industri, bisnis dan sosial dinilai cukup tepat. Kebijakan ini merupakan bentuk dukungan Pemerintah bagi pelaku ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19 yang tidak hanya dirasakan oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dianggap penting karena masih dinilai sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia) namun juga oleh usaha pada skala korporasi padat karya, dan masyarakat umum. Gerakan social solidarity harus dilakukan yaitu dengan cara membeli produk lokal sebagai upaya pemerintah dalam menggerakkan usaha mikro bersifat padat karya sehingga daya beli dan tingkat pemgeluaran dapat ditingkatkan.
REFERENSI :
Baldwin, Ricahard. 2020. Economics in the Time of COVID-19. CEPR Press.London
Bank Indonesia. 2020. Survey Proyeksi Indikator Makro Ekonomi (SPIME)
The Nielsen Company, Confidential and proprietary.2020. Indonesia Macroeconomy & FMCG Update Q2 2020.