Oleh : HICHMAED TACHTA HINGGO
Beberapa dekade kebelakang, dunia fotografi khususnya sistem SLR (Single Lens Reflex) dan DSLR (Digital Single Lens Reflex) dikuasai oleh dua merek terkemuka asal jepang yaitu Canon dan Nikon. Merek ini seolah-olah menjadi “agama” bagi pemiliknya, begitulah perumpamaan kekuatan perusahaan tersebut dimata penggunanya. Karakter gambar yang dihasilkan, kualitas dan harga jual menjadi alasan mengapa merek ini sangat banyak peminatnya. Berdasarkan data dari IDC Japan tahun 2010, Canon menguasai pasar DSLR/SLR sebanyak 44,5 persen, diikuti oleh Nikon 29,8 persen dan Sony 11,9 persen.
Jika dikaitkan dengan teori Blue Ocean Strategy, persaingan pada segmen ini sudah memasuki tahapan yang berdarah-darah atau kondisi Red Ocean. Banyak kompetitor yang terjun pada segmen ini, bersaing untuk menjadi penguasa pasar kamera DSLR. Olympus, Fujifilm, Sony, Panasonic, Casio, Samsung dsb merupakan merek yang bersaing pada laut yang sama dengan Canon dan Nikon. Namun merek tersebut belum dapat menggoyahkan dominasi dari Canon dan Nikon, bahkan tidak sedikit perusahaan pesaing gagal dan menutup divisi penjualan DSLR mereka. Kondisi ini membuat dua penguasa pasar tersebut, Canon dan Nikon, overconvidence memimpin pasar DSLR, dan terlambat dalam melakukan inovasi dan atau pengembangan produk mereka.

Sumber: nikonrumors.co
Bagaimanapun juga, kondisi laut keruh dan berdarah-darah pada segmen DSLR membuat competitor Canon dan Nikon yang kalah dalam persaingan berusaha mencari laut yang masih bersih dan biru. Kondisi tersebut melahirkan sistem penangkapan cahaya yang bernama “mirrorless”, yang diawali pada tahun 2004. Bila DSLR menggunakan cermin untuk menangkap cahaya kemudian diteruskan menuju sensor kamera, sistem mirrorless ini tidak membutuhkan cermin untuk menangkap cahaya. Sederhananya, cahaya yang ditangkap oleh lensa kamera langsung dikirimkan menuju sensor pada bodi kamera tersebut untuk kemudian diproses menjadi gambar. Pada awal sistem ini muncul, banyak yang meragukan kemampuan sistem mirrorless dan bahkan Canon dan Nikon menganggap sistem mirrorless bukan sebagai ancaman berarti.
Sistem mirrorless ini menawarkan sesuatu yang berbeda kepada pasar, terutama dalam hal ukuran dan keringkasan kamera. Kamera yang digunakan dalam sistem ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kamera DSLR/SLR, kualitas gambar yang dihasilkan juga sama baiknya dengan pendahulunya. Memasuki tahun 2014, kamera sistem mirrorless ini mulai digemari oleh para penikmat fotografi. Sony dan Fujifilm merupakan merek yang sukses masuk ke laut biru dengan ”armada” mirrorless. Melihat perkembangan teknologi ini, Canon dan Nikon awalnya tampak masih tetap percaya diri dengan sistem DSLR yang menjadi kekuatannya. Mereka tidak cepat beradaptasi dan mengembangkan sistem ini. Penguasa pasar DSLR seolah-olah membiarkan perusahaan seperti Sony, Fujifilm, Panasonic untuk leluasa berkembang tanpa adanya gangguan.
Prediksi Canon dan Nikon terhadap sistem mirrorless ini ternyata meleset, Sony kemudian berhasil menggerus dan mengungguli Nikon dalam pasar penjualan kamera melalui sistem mirrorless . Sistem ini pula yang membawa Perusahaan Fujifilm bangkit setelah berakhirnya masa jaya mereka pada era film. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Nikkei Jepang, Sony berhasil mengungguli Nikon dalam perolehan market share (20,2 persen), sedangkan Nikon hanya mencatatkan 18,6 persen dan konsisten mengalami penyusutan hingga menarik diri dari pasar Indonesia pada Oktober 2020. Keterlambatan dalam beradaptasi berdampak pada ”kekuasaan” yang selama bertahun-tahun diraih hilang dari tangan Nikon. Sementara Canon walaupun terlambat beradaptasi dan masuk dalam persaingan mirrorless masih dapat mempertahankan market share sebesar 45,4 persen. Apakah Canon juga akan mengalami hal serupa dengan Nikon?.
“Innovate or die – Peter Drucker”