Oleh: Muhammad Ahyaruddin
Selama lebih dari dua dekade berlalu sejak reformasi bergulir di Indonesia, permasalahan akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan di Indonesia masih menjadi perbincangan hangat di kalangan peneliti dan pemerhati pemerintahan (Sofyani et al. 2018; Ahyaruddin dan Amrillah, 2018: Ahyaruddin dan Akbar, 2018; 2016). Sampai saat ini, banyak instansi pemerintahan, khususnya pemerintah daerah yang hanya fokus pada pencapaian kinerja keuangan tanpa mengutamakan hasil outcome dan impact dari kegiatan penyelenggaran pemerintahan (Sofyani dan Akbar, 2015). Padahal, kegiatan penyelenggaraan pemerintahan menjadi core business organisasi pemerintah sebagai organisasi nirlaba yang bertujuan untuk memenuhi hajat hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat. Namun, core business ini seringkali dilupakan dan dikesampingkan hanya untuk sekedar mencapai tujuan finansial yang hanya sebatas formalitas berupa stempel “Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)” dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sesungguhnya sudah lama diatur sejak tahun 1999 melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999, yang kemudian diganti menjadi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam Perpres tersebut dijelaskan bahwa akuntabilitas kinerja merupakan perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan program dan kegiatan yang telah diamanatkan para pemangku kepentingan dalam rangka mencapai misi organisasi secara terukur dengan sasaran/target kinerja yang telah ditetapkan melalui laporan kinerja instansi pemerintah yang disusun secara periodik. Akuntabilitas kinerja ini adalah bagian dari reformasi birokrasi yang sedang dijalankan pemerintah dalam rangka perbaikan pemerintahan dan sistem manajemen untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab. Selain itu juga sebagai wujud pertanggungjawaban dalam mencapai misi dan tujuan instansi pemerintah dalam rangka perwujudan good government governance (GGG) (Rahakbuw dan Firdausy, 2018).
Namun demikian, praktik akuntabilitas kinerja di lapangan seringkali lebih mementingkan aspek formalitas untuk memenuhi kewajiban regulasi. Hal ini menyebabkan terjadinya kinerja semu penyelenggaraan pemerintahan karena hanya melaporkan program dan kegiatan yang berhasil saja, sementara program yang tidak berhasil cenderung disembuyikan dan bahkan tidak dilaporkan (Nurkhamid, 2008). Hal yang lebih meyedihkan lagi adalah informasi yang terkandung dalam laporan akuntabilitas kinerja tidak digunakan dan dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan (Ahyaruddin dan Akbar, 2018). Beberapa pejabat public di organisasi pemerintah daerah (OPD) mengatakan bahwa penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) selama ini hanya untuk memenuhi dan menyelesaikan kewajiban mereka karena dipaksa oleh aturan yang ada (lihat artikel Ahyaruddin dan Akbar, 2016). Dengan demikian, proses penyusunan yang mereka lakukan bersifat ala kadarnya tanpa memperhatikan apakah laporan tersebut bisa bermanfaat dan digunakan sebagai feedback pengambilan keputusan untuk perbaikan organisasi di masa datang. Kondisi ini kemudian memunculkan fenomena isomorfisma institusional seperti yang diungkapkan oleh Dimaggio dan Powell (1983) serta Ashworth et al. (2009) karena pelaporan kinerja hanya untuk mendapatkan legitimasi institusional dan dukungan politik daripada meningkatkan kinerja substantif.
Berdasarkan teori isomorfisma institusional, organisasi sector public terutama organisasi pemerintah di Indonesia bergerak dan berubah dipengaruhi oleh tekanan isomorfik yang ada dilingkungannya, yaitu coersive, mimetic dan normative (Sofyani et al., 2018; Ahyaruddin dan Akbar, 2018, 2016; Sofyani dan Akbar, 2015; Akbar et al., 2015, 2012; Erro dan Calvo Sánchez, 2012; Ashworth et al., 2009; Brignall dan Modell, 2000). Tekanan coersive dan mimetic lebih dominan mempengaruhi penyusunan pelaporan kinerja instansi pemerintah dibandingkan tekanan normative. Padahal yang diharapkan public dan masyarakat luas dari organisasi pemerintah adalah dalam bentuk tekanan normative. Hal ini karena bentuk normative dalam konsep isomorfisma institusional dianggap lebih professional dalam melakukan perubahan dan mencerminkan kinerja rill di lapangan karena perubahan dilakukan berdasarkan keinginan dari dalam organisasi agar lebih baik. Sedangkan jika tekanan muncul dalam bentuk coersive, maka yang terjadi adalah perubahan dilakukan karena paksaan dari lingkungannya seperti tekanan regulasi yang pada akhirnya hanya akan berakibat pada perubahan yang semu. Begitu juga jika tekanan yang muncul karena mimetic, maka organisasi berubah karena pengaruh dari organisasi lain yang lebih sukses sehingga ia meniru organisasi tersebut karena menganggap dirinya perlu untuk menyesuaikan perubahan yang pada akhirnya menciptakan metrik simbolik.
Masyarakat sebagai pengguna layanan public yang disediakan oleh organisasi pemerintah perlu melakukan pengawasan dan meningkatkan awareness-nya agar pemerintah betul-betul membuat perubahan yang substantive, bukan hanya sekedar perubahan semu. Hal ini karena pada akhirnya akan berdampak pada pelayanan yang diberikan dan dirasakan oleh masyarakat sendiri. Jangan lagi perubahan yang dilakukan hanya menguntungkan individu atau kelompok organisasi tertentu namun mengorbankan kepentingan publik dan masyarakat luas sebagai penerima manfaat pelayanan. Kasus seperti ini banyak terjadi terutama di daerah-daerah terpencil dimana pelayanan publik yang diperoleh masyakarat membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang cukup lama karena merasa dipersulit jika tidak punya kenalan orang dalam, sebut saja misalnya pengurusan e-ktp dan pengurusan surat-surat perizinan. Jika kasus seperti ini terus terjadi dan tidak segera diselesaikan maka jargon reformasi birokrasi dan revolusi mental yang selama ini digaungkan oleh pemerintah menjadi sia-sia dan hanya sebatas jargon semata.
“Semoga Indonesia menang melawan dirinya sendiri dan bisa menjadi “Macan Asia” di masa depan”
Referensi
Ahyaruddin, M., dan R. Akbar. 2018. Indonesian Local Government’s Accountability and Performance: The Isomorphism Institutional Perspective. Jurnal Akuntansi dan Investasi, Vol. 19 No. 1: 1-11.
Ahyaruddin, M., dan R. Akbar. 2016. The relationship between the use of a performance measurement system, organizational factors, accountability, and the performance of public sector organizations. Journal of Indonesian Economy and Business 31 (1): 1–22.
Ahyaruddin, M., dan M. F. Amrillah (2018). Faktor Penentu Kinerja Pemerintah Daerah. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 9, no. 3, pp. 471–486.
Akbar, R., R. A. Pilcher, and B. Perrin. 2015. Implementing Performance Measurement Systems. Qualitative Research in Accounting & Management, 12 (1), 3 – 33.
Ashworth, R., G. Boyne, dan R. Delbridge. 2009. Escape from the iron cage? organizational change and isomorphic pressures in the public sector. Journal of Public Administration Research and Theory 19 (1): 165–187.
Brignall, S. and S. Modell. 2000. An Institutional Perspective on Peformance Measurement and Management in the New Public Sector. Management Accounting Research, 11, 281-306.